Kerajaan Galuh

Suatu Naskah berbahasa Sunda yaitu Carita Parahyangan ditulis pada tahun 1580 M, mengungkapkan mengenai asal-usul suatu kerajaan di tanah Jawa.

Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Galuh yang sekarang bernama Ciamis terkenal dengan sejarah perjalanan panjangnya.

Perjalan panjang tersebut sampai saat ini sebenarnya masih “gelap”.

Dikarenakan ada beberapa episode/bagian sejarah yang membuat perjalanan panjang tersebut tidak terungkap secara komprehensif.

Misalnya sejarah yang masih bercampur dengan legenda atau mitos sehingga cerita lengkap mengenai sejarah pastinya terdapat beberapa versi.

Sejarah Kerajaan Galuh

foto kerajaan galuh
sumber : https://www.kuwaluhan.com/

Kerajaan Galuh adalah kerajaan yang pernah menunjukkan ke eksistensinya di Nusantara sejak tahun 669 M.

Awalnya Kerajaan Tarumanegara sering dikaitkan dengan Kerajaan Galuh.

Ternyata hubungan Kerajaan Tarumanegara dengan Kerajaan Galuh yaitu merupakan keturunan langsung.

Karena Kerajaan Tarumanegara mempunyai beberapa bawahan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayahnya.

Kerajaan Galuh merupakan kelanjutan dari Kerajaan Kendan yang adalah bawahan Kerajaan Tarumanegara.

Nama raja Kendan ketiga yaitu Sang Kandiawan dan bergelar Rajaresi Dewaraja mempunyai lima anak.

Anak pertama bernama Mangukuhan.

Anak kedua bernama Karungkalah.

Anak ketiga bernama Katung Masalah.

Anak keempat bernama Sandanggreba.

Dan anak kelima bernama Wretikandayun.

Dari kelima anak Raja Kendan, sih bungsulah yang paling disukai sang ayah.

Karena dinilai Wretikandayun, memiliki sikap lebih baik dibanding kakak-kakaknya dan memiliki watak yang tidak terlalu mementingkan masalah duniawi.

Hal ini lah yang melatar belakangi Sang Kandiawan menunjuk Wretikandayun sebagai penggantinya.

Karena Sang Kandiawan, memutuskan untuk turun takhta setelah menjabat 15 tahun.

Dan memilih untuk menjadi seorang pertapa di Layuwatang (Kuningan, Jawa Barat).

Pengangkatan Wretikandayun sebagai raja menghasilkan pergunjingan di kalangan Kerajaan Kendan, karena biasanya putra sulung atau anak kedua yang berhak menggantikan sang ayah.

Namun, masalah tersebut tidak meruntuhkan niat Sang Kandiawan dan tetap memilih anak bungsunya yang masih berusia 21 tahun untuk menjabat sebagai raja.

Penobatan Wretikandayun dilakukan pada malam bulan purnama.

Besok harinya setelah penobatan Wretikandayun mengambil keputusan pertamanya yang merubah sejarah Kerajaan Kendan.

Yaitu memindahkan pusat pemerintahan yang sebelumnya di Kendan ke sebuah lokasi baru yang diapit dua sungai Cimuntur dan sungai Citanduy yang diberi nama Kerajaan Galuh.

Saat Kerajaan Tarumanegara di pimpin oleh Sang Tarusbawa, kerajaan tersebut sudah mulai kehilangan kejayaan dan pamornya.

Apalagi semakin lama semakin mendapat tekanan dan serangan dari Kerajaan Sriwijaya.

Beliau juga mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pakuan (Bogor).

Akhirnya Sang Wretikandayun memutuskan untuk mahardika (membebaskan diri) dari Kerajaan Sunda.

Kemudian Sang Maharaja Tarusbawa memutuskan untuk mengakhiri Kerajaan Tarumanegara pada tahun 670 M.

Dan membagi dua wilayahnya yaitu Kerajaan Galuh di bagian timur dan Kerajaan Sunda di wilayah bagian barat bekas wilayah Tarumanegara.

Awal Mula Kerajaan Galuh

kerajaan galuh purba di gunung slamet
sumber : https://hystoryana.blogspot.com/

Sang Wretikandayun memerintah Kerajaan Galuh cukup lama, yaitu selama 90 tahun.

Dari tahun 612 M hingga 702 M.

Beliau lalu menikah dengan putri Resi Makandria, Nay Manawati atau Dewi Candraresmi.

Mereka mempunyai tiga putra, yakni Sempakwaja, Wanayasa (Jantaka), dan Mandiminyak (Amara).

Seperti dirinya Sang Wretikandayun yang anak bungsu dari lima bersaudara, dan dipilih sebagai seorang raja.

Beliau juga memilih anak bungsu sebagai penggantinya.

Sebab Sempakwaja anak pertama dan Jantaka anak kedua memiliki kekurangan fisik.

Akhirnya Sempakwaja yang bergigi ompong menjadi pendeta di Galunggung dan bergelar Batara Dangiang Guru.

Sementara adiknya, Wanayasa atau Rahyang Kidul jadi pendeta di Denuh karena dirinya menderita kemir (hernia/turun berok).

Kerajaan Galuh di perintah selama 7 tahun oleh Mandiminyak dari 702-709 M.

Istrinya yakni Dewi Parwati, dari Kerajaan Keling (Kalingga).

Sayangnya, Mandiminyak dan Nay Pwahaci Rababu, istri Sempakwaja menjalin hubungan gelap.

Dari Dewi Parwati, Mandiminyak memiliki putri yaitu Sannaha.

Dan dari Pwahaci Rababu memiliki putra bernama Sena (Bratasenawa).

Kedua anak Sang Mandiminyak lalu dinikahkan, walau satu ayah.

Dari pernikahan Sannaha dan Sena memiliki seorang putra yakni Sanjaya.

Pernikahan ini tercatat pada Prasasti Stirengga atau Prasasti Canggal (732 M).

Kudeta Pertama

Raja Galuh ketiga, Sena (709-716 M), bergelar Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabumi.

Ia bersahabat dengan Tarusbawa raja Kerajaan Sunda yang memerintah selama 54 tahun (669-723 M).

Maka dari itu, Sanjaya (anak Raja Sena) dinikahkan dengan cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana Hayu Purnawangi atau Nyai Sekar Kancana.

Anak Tarusbawa yakni Sunda Sembawa wafat saat usia mudah, maka cucunya yang bernama Dewi Tejakancana (anak dari Sunda Sembawa) menjadi ahli waris kerajaan.

Namun, karena ia seorang wanita maka ia dinikahkan dengan Sanjaya.

Suaminyalah yang menjadi Raja Sunda sekaligus Galuh, dan memerintah selama 9 tahun (723-732 M)
Purbasora adalah anak Sempakwaja dan cucu Wretikandayun berniat menggulingkan Sena pamannya pada 716 M.

Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun.

Ayah Purbasora, tidak diangkat menjadi raja karena dinilai kurang layak menjadi pemimpin karena memiliki kekurangan fisik.

Sebenarnya Sena dan Purbasora adalah saudara satu ibu yakni Pwahaci.

Dengan dibantu pasukan dari Kerajaan Indraprahasta, Purbasora melancarkan kudeta merebut Kerajaan Galuh.

Sena berhasil kabur sekitar Gunung Marapi yang termasuk wilayah Kalingga, kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima.

Purbasora menjadi penguasa Kerajaan Galuh dari tahun 716 M hingga 723 M.

Dan permaisurinya bernama Dewi Citra Kirana putri Raja Indraprahasta Sang Resi Padma Hariwangsa.

Anak Sena yakni Sanjaya alias Rakeyan Jamri bertekad balas dendam terhadap keluarga Purbasora.

Lalu ia, meminta bantuan Tarusbawa, sahabat ayahnya yang juga kakek istrinya.

Sebelum penyerangan dilancarkan, Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus yang ia pimpin langsung di daerah Gunung Shawal atas bantuan Rabuyut Shawal.

Patih Anggada memimpin pasukan Sunda.

Penyerangan tersebut dilakukan secara mendadak dan pada malam hari, yang berimbasnya seluruh keluarga Purbasora tewas.

Hanya Bimaraksa yang menjabat Patih Kerajaan Galuh, menantu Purbasora yang berhasil lolos.

Bimaraksa atau Ki Balangantrang merupakan cucu Wretikandayun dari putra kedua, Resi Guru Jantaka.

Sanjaya mendatangi Sempakwaja di Galunggung dan meminta agar pamannya menobatkan Demunawan, anak keduanya, menjadi raja Galuh.

Namun, Sempakwaja menolak permohonan itu karena curiga merupakan tipu-muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.

Sanjaya tidak bisa mengetahui keberadaan Ki Balangantrang.

Karena takhta Galuh yang kosong Sanjaya terpaksa mengangkat dirinya menjadi Raja Galuh sekaligus raja Sunda.

Sayangnya, Sanjaya menyadari bahwa kehadirannya di Kerajaan Galuh kurang begitu disenangi, karena ia orang Pakuan (Sunda).

Sebabnya, itu ia menobatkan Premana Dikusuma atau Bagawat Sajalajaya, cucu Purbasora, menjadi Raja Galuh.

Premana memperistri cucu Ki Balangantrang yakni Naganingrum.

Putra mereka bernama Manarah alias Surotama.

Maka suami-istri itu cocok untuk mewakili keturunan Sempakwaja anak pertama Wretikandayun Jantaka anak kedua.

Agar mudah mengontrol Kerajaan Galuh.

Sanjaya menikahkan Surotama dengan Dewi Pangrenyep, putri Anggada, Patih Kerajaan Sunda.

Dan menunjuk anaknya, Tamperan, sebagai Patih Galuh.

Sebenarnya, Premana merasa terpaksa untuk menjadi Raja Galuh.

Karena Sanjaya terkenal baik hati tapi tidak mengenal ampun pada musuh-musuhnya dan Sanjaya juga adalah pembunuh kakeknya.

Karena hal tersebut, Premana memutuskan untuk kabur dan meninggalkan istrinya.

Kemudian kembali menjadi pertapa di perbatasan Sunda Sebelah timur sungai Citarum.

Tak jauh berbeda dengan buyutnya Mandiminyak, sang cucu Tamperan juga berhubungan gelap dengan Pangrenyep (19 tahun), istri Premana.

Alhasil mereka memiliki putra Kamarasa alias Aria Banga (723 M).

Sadisnya untuk menyembunyikan hubungan gelap mereka, Tamperan menyuruh seseorang untuk membunuh Premana.

Namun, kejahatan Tamperan diketahui oleh Ki Balangantrang.

Pada 732 M Sanjaya harus menjadi raja Kerajaan Medang Kamulan (Bhumi Mataram) dari ibunya, Sannaha.

Ketika meninggalkan Pakuan, ia membuat keputusan kepada Tamperan dan Resiguru Demunawan.

Tamperan berhak untuk Sunda dan Galuh.

Untuk Resiguru Demunawan, putra bungsu Sempakwaja berhak untuk wilayah Saunggalah (Kuningan) dan Galunggung.

Keturunan Manarah dan Banga Penguasa Sunda dan Galuh

Tamperan menjadi Raja Sunda-Galuh selama 16 tahun dari 732-739 M.

Sementara itu, Ki Balangantrang bersama Manarah (Ciung Wanara) cucunya, tengah menyiapkan rencana perebutan takhta Galuh.

Banga (anak Tamperan) dan pembesar Galuh menghadiri acara sabung ayam yang jadi tempat kudeta Manarah.

Manarah menyamar sebagai peserta sabung ayam dan kakeknya Ki Balangantrang, bertugas menyerang Keraton Galuh dengan pasukan Geger Sunten.

Penyerang itu berhasil memojokkan Galuh. Tamperan, Pangrenyep dan Banga berhasil ditawan.

Namun, Banga dinilai tidak bersalah akhirnya dibebaskan dan malam hari ia membebaskan orang tuanya.

Tindakan Banga diketahui Manarah dan akhirnya mereka bertarung.

Dan Banga kalah dalam pertarungan tersebut, begitupun orang tuanya yang tewas terbunuh tembakan panah pasukan Manarah.

Mengetahui anaknya terbunuh, Sanjaya membawa pasukan dalam jumlah besar menyerang ibu kota Galuh.

Sebaliknya Manarah juga telah mempersiapkan pasukan Indraprahasta (Kerajaan Wanagiri) dan raja-raja daerah Kuningan.

Perang keturunan Wretikandayun akhirnya meletus.

Namun, perang diberhentikan oleh Rajaresi Demunawan (93 tahun) dan dilakukan perundingan pada 739 M.

Dengan kesepakatan Sunda diserahkan pada Banga dan Manarah tetap menduduki Galuh.

Sayangnya, Banga hanyalah raja bawahan, setidaknya ia bisa hidup karena kebaikan Manarah.

Manarah mendapat gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancana Wangi.

Sedangkan Banga bergelar Prabu Kerta Bhuwana Yasawiguna Hajimulya, berjodoh dengan adik Kancanawangi, Kancanasari.

Manarah menjadi Raja Galuh hingga 783 M dan memutuskan untuk turun takhta menjadi pertapa hingga meninggal saat berusia 80 tahun pada 798.

Kedua istri mereka adalah cicit Demunawan.

Banga memerintah selama 739-766 M dan pernah membangun parit di Pakuan yang tertulis dalam sebuah naskah abad ke-13 (atau ke-14).

Banga memerintah selama 739-766 M dan pernah membangun parit di Pakuan yang tertulis dalam sebuah naskah abad ke-13 (atau ke-14).

Manarah menjadi Raja Galuh hingga 783.

Dan memutuskan untuk turun takhta menjadi pertapa hingga meninggal saat berusia 80 tahun pada 798.

Dalam beberapa naskah posisi Manarah dan Banga, sering tidak sesuai dan membuat sebagian besar orang kembali memperdebatkan hal tersebut.

Antara Galuh, Saunggalah, dan Pakuan-Sunda.

Prabu Darmaraksa (891-895 M) tewas dibunuh oleh menteri yang fanatik asal Sunda.

Sebab kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda, belum diakui.

Semenjak peristiwa ini pusat pemerintahan sering berpindah-pindah tergantung dari raja yang bertakhta (antara 895-1482 M).

Terkadang, Kerajaan Galuh berperan sebagai “kerajaan kembar” bersama Sunda dan ada kalanya terlepas.

Naskah Carita Parahyangan menceritakan bahwa Prabu Dharmasiksa mendirikan panti pendidikan, sejumlah kabuyutan (tempat suci-keramat) dan merata bagi selmua golongan.

Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi semacam sinkretisasi (pembauran) dalam hal kepercayaan-kemagisan-keagamaan, sebagaimana yang telah terjadi di Jawa Timur.

Sejak masa Prabu Ragasuci (1297-1303 M) pemerintahan condong ke timur Jawa Barat.

Saunggalah tetap dipilih sebagai pusat pemerintahan oleh Prabu Ragasuci menggantikan ayahnya (Prabu Guru Darmasiksa).

Namun, masa pemerintahan putranya, Prabu Citragada, Pakuan untuk kembali menjadi ibukota dan pusat pemerintahan Sunda.

Kawali, Ibukota Galuh yang Baru

situs astana gede kawali ciamis
sumber : https://www.jalanbareng.com/

Saat Prabu Lingga Dewata bertakhta pusat pemerintahan berpindah ke Kawali.

Kawali sendiri berarti “kuali” atau “belanga”.

Lokasinya berada di tengah segitiga Galunggung-Saunggalah-Galuh.

Sejak abad ke-14, Galuh selalu dikaitkan dengan Kawali karena ada dua orang raja Sunda-Galuh yang dipusarakan di Winduraja, dekat Kawali.

Nama Kawali terabadikan dalam Prasasti Kawali, berupa batu peninggalan Prabu Raja Wastu (Niskala Wastukancana) di Astana Gede, Kecamatan Kawali.

Ajiguna Linggawisesa adalah menantu Lingga Dewata karena menikah dengan Dewi Uma Lestari alias Ratu Santika, putri Linggadewata.

Dari perkawinan ini lahir Ragamulya dan Suryadewata yang kemudian menurunkan raja-raja Talaga.

Adik perempuan Ajiguna Linggawisesa yang bernama Pujasari diperistri oleh Patih Srenggana dan menjadi leluhur raja-raja Tanjung Barat yang terletak di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Prabu Ajiguna Linggawisesa memerintah dari tahun 1333-1340 M.

Ia sezaman dengan Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1350 M).

Setelah wafat, Ajiguna Linggawisesa dipusarakan di Kiding.

Maka dari itu, gelar anumertanya Sang Mokteng Kiding.

Yang menggantikannya adalah putra sulungnya, yaitu Ragamulya Luhur Prabawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350 M).

Ia berputera dua orang yaitu Lingga Bhuwana dan Bunisora yang kedua-duanya kemudian menjadi penguasa di Kawali.

Daftar (Silsilah) Raja-raja di Galuh (dan Kawali, Saunggalah, dan Pakuan)

Berikut adalah raja-raja yang pernah bertahkta di Kerajaan Galuh walaupun ada beberapa wilayahnya yang sering mengalami perpindahan pemerintahan.

  1. Wretikandayun atau Wertikandayun (612-702).
  2. Mandiminyak (702-709).
  3. Sena atau Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabumi (709-716 M).
  4. Purbasora (716-723).
  5. Sanjaya Sang Harisdarma atau Rakeyan Jambri (723-732 M), Pakuan-Galuh.
  6. Premana Dikusuma atau Bagawat Sajalajaya (732)
  7. Rahyang Tamperan atau Rakeyan Panaraban (732-739 M), Pakuan-Galuh.
  8. Surotama alias Manarah alias Ciung Wanara atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Saka bhuwana (739-783).
  9. Sang Mansiri atau Prabu Dharmasakti Wijaleswara (783-799).
  10. Sang Triwulan atau Prabu Kertayasa Dewasa Leswara (799-806).
  11. Sang Welengan atau Prabu Brajanagara Jayabuana (806-813).
  12. Prabu Linggabumi (813-842).
  13. Rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulon (842-891 M), Pakuan-Galuh.
  14. Arya Kedaton atau Prabu Darmaraksa Bhuwana (891-895 M). Catatan: sejak tahun 895 hingga 1311 M, pusat pemerintahan sering berpindah-pindah dari timur (Galuh atau Saunggalah) ke barat (Pakuan) dan sebaliknya.
  15. Rakeyan Windusakti atau Prabu Dewageng Jayenge Bhuwana (895-913 M).
  16. Rakeyan Kemuning Gading atau Prabu Pucukwesi atau Sang Mokteng Hujung Cariang (913-916 M).
  17. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa, adik Pucukwesi (916-942 M).
  18. Rakeyan Watugong atau Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M), menantu Jayagiri.
  19. Limbur Kancana atau Sang Mokteng Galuh Pakuan, putra Pucukwesi (954-964 M).
  20. Rakeyan Sunda Sembawa atau Prabu Munding Ganawirya Tapak Manggala Jaya Satru (964-973 M).
  21. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wulung Gadung atau Sang Mokteng Jayagiri (973-989 M).
  22. Rakeyan Gendang atau Prabu Jayawisesa (989-1012 M).
  23. Sanghyang Ageung atau Prabu Dewa Sanghyang atau Sang Mokteng Patapan (1012-1019M), Galuh.
  24. Sri Jayabhupati atau Prabu Satya Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Bhuwanamanadala Leswara Nindita Haro Gowardhana Wikramatunggadewa (1019-1042), Pakuan.
  25. Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakala Sunda Bhuwana (1042-1064), Galuh.
  26. Prabu Langlang Bumi atau Sang Mokteng Kereta (1064-1154), Pakuan.
  27. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menak Luhur Langlangbumi Susah (1154-1156), Pakuan.
  28. Prabu Darmakusuma atau Sang Mokteng Winduraja (1156-1175), Galuh.
  29. Prabu Guru Dharmasiksa Paramartha Mahapurusa atau Guru Darmakusuma atau Prabu Sanghyang Wisnu (1175-1297); di Saunggalah tahun 1175-1187, di Pakuan tahun 1187-1297.
  30. Prabu Ragasuci atau Rakeyan Saunggalah (1297-1303), Saunggalah
  31. Prabu Citragada (1303-1311), Pakuan.
  32. Prabu Lingga Dewata (1311-1333), Kawali.
  33. Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340), Kawali.
  34. Prabu Ragamulya Luhur Prabhawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350), Kawali.
  35. Prabu Lingga Bhuwana Wisesa atau Prabu Maharaja atau Sang Mokteng Bubat (1350-1357 M), Kawali.
  36. Prabu Bunisora (1357-1371), Kawali.
  37. Niskala Wastukancana atau Prabu Raja Wastu atau Sang Mokteng Nusalarang (1371-1475), Kawali.
  38. Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala atau Sang Mokteng Gunatiga (1475-1482), Kawali.
  39. Sri Baduga Maharaja (1482-1521), Galuh dan Pakuan

Kerajaan-kerajaan Lain di Sekitar Kerajaan Galuh

Berdasarkan naskah-naskah kuno, baik sekunder maupun primer, di wilayah Galuh terdapat beberapa kerajaan kecil.

Sayang memang, bahwa kerajaan-kerajaan ini tak meninggalkan bukti otentik seperti prasasti atau bangunan fisik lainnya.

Dalam laporan yang disusun Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat sejumlah nama kerajaan sebagai berikut:

  1. Kerajaan Galuh Sindula (Kerajaan Bojong Galuh) berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili (tahun 78 Masehi);
  2. Kerajaan Galuh Rahyang berlokasi di Brebes ibukota Medang Pangramesan;
  3. Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan;
  4. Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan;
  5. Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Patroman;
  6. Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan;
  7. Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo;
  8. Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medang Kamulan;
  9. Galuh Pataka berlokasi di Nanggala Cah beribukota Pataka;
  10. Kabupaten Galuh Nagara Tengah berlokasi di Cineam beribukota Bojonglopang kemudian Gunungtanjung;

Letak, Peta dan Wilayah Kerajaan Galuh

silsilah kerajaan galuh ciamis
sumber : https://www.harapanrakyat.com/:

Kerajaan Galuh berada di Sungai Citarum sebelah Barat dan Sungai Ci Serayu serta sebelah timurnya Sungai Cipamali (Kali Brebes).

Dan Ibu kota Galuh pernah terletak di beberapa kota, yakni Ciamnis,Karangkamulyan, Cijeungjing, Kawali, Saunggalah, dan Saunggalah.

Agama Kerajaan Galuh

Pada awalnya yang berkembang di Kerajaan Galuh adalah agama Hindu dan Buddha.

Hal ini dapat dilihat di beberapa corak dari peninggalan sejarah Kerajaan Galuh.

Namun, Galuh tidak terlalu menunjukkan keeksistensian agamanya seperti di daerah Jawa Tengah.

Barulah pada akhir abad ke-16 Kerajaan Galuh mulai memeluk agama Islam.

Awalnya Sang Pangeran Mahadikusuma (Maharaja Kawali) alias Apun Dianjung adalah seorang ulama yang mendapat kepercayaan Islam di Cirebon.

Ia mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Tanduran.

Sehingga, Ujang Ngekel putra dari Prabu Cipta Sanghyang, Raja Galuh jatuh cinta pada Putri Tanduran.

Namun, karena Ujang Ngekel yang beragama Hindu dan Tanderan yang beragama Islam tidak bisa mempersunting gadis pujaannya.

Akhirnya, Ujang Ngekel dipersilakan untuk datang ke Cirebon dan Sultan Cirebon beserta Pangeran Mahadikusuma menawarkan apakah ia bersedia untuk memeluk agama yang sama dengan Tanduran.

Ujang Ngekel pun bersedia dan diberi gelar Prabu Galuh Cipta Permana.

Kemudian ia naik takhta dan bekuasa di Gara Tengah.

Kesultanan Cirebon juga mempersilahkan Ujang Ngekel untuk melakukan adat istiadat kebiasaan leluhur Kerajaan Galuh meski sudah memeluk Agama Islam.

Keruntuhan Kerajaan Galuh

Konon Kerajaan Galuh tidak mengalami keruntuhan, tapi kembali bergabung dengan Kerajaan Sunda.

Dari sanalah terbentuknya Kerajaan Pajajaran.

Namun, wilayah Galuh Pangauban (Ciamis Selatan) ingin membentuk kerajaannya sendiri yang dirancang, Pucuk Umum.

Dibantu pembangunannya oleh Kamalarang dan masyarakat Pakidulan, berlokasi di tengah hutan.

Lalu kerajaan tersebut dikelilingi pagar tanaman berduri oleh Prabu Haur Kuning, di bangun alun-alun dan sebuah keraton yang sederhana.

Serta ada 7 rumah bagi menteri dan pegawai kerajaan yang di anggap penting.

Kerajaan dihuni pendatang dari rakyat Bagolo dan Kamulyan Maratama, Maradua, dan Maratiga yang setia pada Prabu Haur Kuning.

Tahun 1516 M Pucuk Umum tertarik pada ajaran Islam, pernah memimpin pasukan ke Malaka membantu Patih Yunus dari Kesultanan Demak.

Tapi, Pucuk Umum tidak tertarik diangkat menjadi pimpinan agama Islam karena harus menaklukkan Kerajaan Pajajaran.

Sementara Pajajaran itu adalah eyangnya.

Keputusan tersebut membuat Pucuk Umum dan istrinya dibuang ke Ujung Kulon.

Pada tahun 1618, Mataram melakukan penyerangan dan menaklukkan Galuh.

Kemudian pergantian gelar Ratu menjadi Adipati yakni bupati dibawah kekuasaan Mataram.

Dari beberapa sumber lain, runtuhnya Kerajaan Galuh terjadi pada tahun 1482 dan dilanjutkan unifikasi Kerajaan Sunda Padjajaran.

Namun, penyebab keruntuhannya pun masih gelap hingga kini.

Peninggalan Kerajaan Galuh

Terdapat beberapa peninggalan Kerajaan Galuh yang hingga kini masih bisa disaksikan di beberapa tempat.

Berikut adalah beberapa peninggalan Galuh :

1. Prasasti Mandiguwa

Prasasti yang dituliskan pada sebuah batu alam ditemukan pada 1985 di desa Cipadung, Kecamatan Cisaga, Ciamis.

Sayangnya, prasasti ini pernah patah tanpa di tahu sebabnya dan kini berukuran 70 cm × lebar 14-26 cm dan tebal 4-5-10 cm.

Prasasti Mandiguwa bertuliskan lima baris dan berbahasa Jawa Kuno dengan transkripsi yaitu.

“masa krsna paksa k

nawami haryang

pon wrehaspati wa

ra tatkala sima ri

mandiwunga………. “

Artinya adalah :

“Bulan paro gelap tanggal 9,

(sadwara:paringkelan) Haryang

(pancawara/pasaran) Pon, (saptawara) Kamis

ketika itulah daerah sima (perdikan) di

Mandiwunga………………..”

2. Prasasti Cikajang

Prasasti ini ditemukan di lereng barat daya Gunung Cikuray, tepatnya di daerah perkebunan teh.

Dipahat pada batu alam dengan ukuran 1,5 × 1,5 m.

Prasasti Cikajang berisi tiga baris tulisan dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno, mirip dengan aksara pada prasasti Kawali.

Transkripsi dari tulisan tersebut yaitu.

“Bhagi bhagya, ka, nu ngaliwat”

3. Prasasti Rumatak

Prasasti Rumatak ditemukan di Gunung Geger Hanjuang, Desa Rawa Girang, Singaparna, pada tahun 1877.

Dan diukir pada batu pipih bertuliskan aksara Sunda Kuno dengan ukuran 58 × 62 cm2.

Transkripsi dari prasasti tersebut adalah yaitu.

“tra ba I gune apuy na

sta gomati sakakala rumata

k disusuk ku batari hyang pun”

Artinya adalah mengenai pendirian pusat kerajaan nu nyusuk di Rumatak oleh Batara Hiyang.

Pertanggalannya dituliskan dalam kalimat candrasangkala yang berbunyi gune apuy nasta gomati yang oleh Saleh Danasasmita, juga oleh Atja, disebutkan bernilai 1033 Saka = 1111 M.

4. Prasasti Galuh

prasasti hujung galuh
sumber : http://catatanruslan.com/

Bertuliskan aksara Sunda Kuno di atas batu alam dengan ukuran tinggi 51 cm, lebar 33 cm dan tebal 4-19 cm.

Kemungkinan prasasti ini berasal dari abad 14-15 M.

Transkripsi dari Prasasti Galuh yaitu.

“[wa]ra buta

Mahisa

hire”

Isi prasasti ini sangat singkat dan sebagai candrasengkala (pertanggalan yang disusun dengan kalimat yang memiliki kandungan nilai angka khusus).

5. Situs Geger Sunten

geger sunten ciamis
sumber : https://www.youtube.com/

Berlokasi di Dusun Sodong, Desa Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis.

Situs Geger Sunten terdapat berbagai batuan yang tersusun rapi.

Tempat ini dulunya merupakan persembunyian Aki Balangantrang dan Ciung Wanara ketika Kerajaan Galuh di kudeta.

Di situs ini juga terdapat petilasan batu yang digunakan Ciung Wanara untuk melaksanakan kegiatan musyawarah bersama pengikutnya.

6. Situs Ciung Wanara Karangkamulyan

sejarah ciung wanara karangkamulyan
sumber : https://www.harapanrakyat.com/

Berlokasi di Desa Karangkamulyan, Cijeungjing, Ciamis, Jawa Barat, adalah sebuah situs purbakala bersejarah dan arkeologi peninggalan Kerajaan Galuh bercorak Hindu-Budha.

Situs Ciung Wanara Karangkamulyan luasnya sekitar 25 Hektar, berisikan berbagai bentuk batu yang memiliki kisah sejarah tersendiri.

Lengkap dengan struktur bangunan yang sebuah pintunya berbentuk menyerupai sebuah kamar.

Dan warga sekitar situs itu memberi nama dan dihubungkan dengan mitos tentang Kerajaan Galuh, misalnya tempat duduk atau pangcalikan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam, tempat peribadatan dan Cikahuripan.

7. Situs Pangcalikan

kerajaan galuh pdf
sumber : https://m.medcom.id/

Situs Pangcalikan adalah situs pertama yang akan ditemukan setelah gerbang utama yang ada di lokasi situs Karangkamulyan.

Pelinggih/Pangcalikan adalah sebuah batu bertingkat, berwarna putih dengan bentuk persegi empat, termasuk dalam golongan Yoni atau tempat pemujaan, tapi diletakkan dengan posisi terbalik dan dipakai buat altar.

Dibawahnya terdapat sebuah batu kecil seperti penyangga, dan memberikan kesan sebuah dolmen (kuburan batu) dengan panjang 17,5 meter dan lebar 5 meter.

8. Sahyang Bedil

peninggalan kerajaan sunda galuh
sumber : https://alampriangan.com/

Sanghyang Bedil adalah sebuah ruangan yang berada di tengah tembok dengan ukuran 6,20 x 6 m dan tinggi 80 cm.

Istimewanya ruangan ini ada dua menhir berada diatas tanah, yang memiliki ukuran berbeda.

Yakni 60 x 40 cm dan juga 20 x 8 cm, berbentuk tradisi megalitikum.

Dahulu warga sekitar mempercayai jika tempat itu mengeluarkan bunyi seperti letusan maka hal itu jadi pertanda akan terjadinya suatu peristiwa.

Namun, sekarang Sanghyang Bedil tidak pernah mengeluarkan tanda-tanda lagi.

Untuk warga sekitar senjata merupakan simbol hawa nafsu.

Filsafatnya adalah hawa nafsu seringkali membawa manusia pada kecelakaan atau kemaksiatan.

9. Lambang Peribadatan

lambang peribadatan
sumber : http://i-hyki.blogspot.com/

Warga Karangkamulyan menyebutnya sebagai stupa yakni beberapa kemuncak yang dilambangkan peribadatan.

Yang dihiasi pahatan sederhana bercorak Hindu sebagai sejarah peninggalannya.

Batu ini terletak pada struktur tembok dengan ukuran 3 x 3 x 0.6 meter, tersusun rapi memperlihatkan lapisan budaya megalitik.

Sedangkan kemuncak yang diletakkan secara bersamaan memperlihatkan corak Hindu.

Lambang peribadatan ataupun lambang keagamaan disebut menyerupai stupa oleh warga sekitar.

10. Panyandaran

kerajaan galuh dan pajajaran
sumber : https://www.aroengbinang.com/

Panyandaran terdiri dari sebuah menhir (120 cm × 70 cm) dan dolmen (120 cm ×
32 cm), yang letaknya dikelilingi oleh batu bersusun merupakan struktur atau susunan dari tembok, yang masih berlokasi di Karangkamulyan.

Tempat ini adalah tempat Dewi Naganingrum melahirkan Ciung Wanara, kemudian menghanyutkan bayinya ke sungai Citanduy.

Warga percaya jika seorang wanita mendambakan seorang anak maka, ia harus bersandar di tempat itu seperti dewi Naganingrum.

11. Cikahuripan

cikahuripan lembang
sumber : https://3.bp.blogspot.com/

Situs Cikahuripan ini berbentuk sebuah sumur yang dianggap sumur abadi berada di pertemuan sungai Citanduy dan sungai Ci Muntur.

Cikahuripan artinya sumur yang berisi air kehidupan dan simbol kehidupan.

12. Makam Adipati Panaekan

kerajaan galuh bercorak
sumber : https://www.youtube.com/

Peninggalan arkeologis pada makam Adipati Panaekan hanyalah batu lingkaran yang bersusun tiga.

Adipati Panaekan meninggal setelah dibunuh karena perbedaan pendapat penyerangan Belanda dengan adik iparnya yakni Dipati Kertabumi (Singaperbangsa I).

Jasadnya kemudian dihanyutkan ke sungai Cimuntur.

Dan di angkat lagi di pertemuan sungai Citanduy dan sungai Cimuntur, kemudian dikebumikan secara layak di situs Karangkamulyan.

13. Candi Cangkuan

candi cangkuang terletak di kabupaten
sumber : https://traverse.id/

Terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Lele, Kabupaten Garut candi ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Galuh yang dipengaruhi ajaran agama Hindu.

Menurut sejarah agama Hindu lebih dahulu tersebar di daerah Jawa Barat dibandingkan daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Ironisnya hanya ada Candi Cangkuan yang menjadi sejarah peninggalan Kerajaan Galuh dengan corak Hindu sebagai tempat suci.

Candi ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Sunda Uka Tjandrasasmita pada 9 Desember 1966.

Yang awalnya hanya berasal dari batu-batu andesit yang berserakan.

Kemudian disusun kembali yang diperkirakan berasal dari abad ke-8 M berdasarkan kelapukan batu dan segi pahatannya.

Mitos Buaya dan Harimau

Proses kepindahan ibukota pada masa Sunda-Galuh memiliki pengaruh secara sosial-budaya.

Dalam hal tradisi, antara Galuh dengan Sunda memang terdapat perbedaan.

Disebutkan, bahwa orang Galuh itu adalah “orang air”, sedangkan orang Sunda itu adalah “orang gunung”.

Yang satu (Galuh) memiliki “mitos buaya”, yang lainnya (Sunda) memiliki “mitos harimau”.

Dahulu, tempat tersebut merupakan tempat melabuhkan (ngurebkeun) mayat karena tradisi Galuh, mayat harus dihanyutkan (dilarung) di sungai.

Sebaliknya, orang Kanekes (Banten) yang masih menyimpan banyak sekali peninggalan tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah (ngurebkeun).

Tradisi ngurebkeun di sebelah timur dan tradisi ngurebkeun di sebelah barat, membekas dalam istilah panereban dan pasarean.

Sub-etnik Galuh dan Sunda (Orang Air dengan Orang Gunung) lambat-laun telah meleburkan melewati perjalanan sejarah.

Perbauran ini, contohnya, dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (Seekor Kura-kura dan Seekor Monyet).

Dongeng Sunda ini sangat dikenal segala lapisan masyarakat.

Padahal dalam kenyataannya, monyet (wakil dari budaya gunung) dan kuya (wakil dari budaya air) itu bertemu saja mungkin tidak pernah.

Demikian informasi mengenai sejarah dan bagaimana berdirinya Kerajaan Galuh.

Dari beberapa literatur dan peninggalan kerajaan cukup membuktikan bahwa kerajaan ini memang pernah ada dan berkuasa lama di tanah Jawa.

Atlanditor Indiron Tana

Dia dhuit! Hallo dalam bahasa Indonesia. Saya senang menulis apa saja yang saya sukai. Serta membaca novel dengan berbagai genre

Update : [modified_date] - Published : [publish_date]

Tinggalkan komentar