Karena sepertinya kita bangga dengan predikat salah satu ibukota di dunia yang memiliki jumlah mal terbanyak.
Karena orang Jakarta adalah manusia paling praktis. Mal lebih praktis. Cukup naik kendaraan, masuk parkiran, masuk ke mal, adem dan bahagia.
Masalah belanja atau enggak, itu sih kapan-kapan. Mengapa demikian? Karena budaya yang semakin maju, mungkin, sehingga membuat segala sesuatu jadi terbalik?
Saya masih ingat, dulu saya minder ke mal kalau nggak bawa uang yang lebih karena semakin lama nongkrong di mal, semakin banyak uang keluar, bukan? Jadilah saya dulu lebih sering menghabiskan waktu di kebon binatang (Bonbin) atau museum. Bayangkan, di Bonbin, cuma bayar biaya masuk (dan beli makanan minuman), saya sudah bisa nongkrong sampai capek. Di museum, dengan bayar tiket masuk, sudah bisa dapat pengalaman dan pengetahuan baru. Tapi, lebih mudah menjelaskan 'jaket seharga Rp700.000 itu mahal' kan dibanding menjelaskan artefak kuno kepada anak atau adik kita? Nah, itulah kenapa kami, orang Jakarta, lebih suka ke mal.
Kami, orang Jakarta, suka menghabiskan waktu di mal karena makin ke sini, kami semakin menyadari bahwa kami adalah makhluk konsumerisme dan makhluk sosial. Rasanya, kadar makhluk sosial ini belum sosial banget jika belum update foto sedang di mal manaaa gitu. Atau belum update Path check in location di mal baru yang lagi hits.
Udah, ah. Masih banyak "karena-karena" lainnya, tapi saya sudah harus siap-siap makan siang di mal. Habis itu, ngopi di kafe yang berada di dalam mal, terus kerja. Tetap di dalam mal.
Brilliant closing statement! Mar 11, 2017